Thursday, April 24, 2008

Audiensi bersama Mgr. Ign. Suharyo, Pr

AUDIENSI
BERSAMA MGR. IGNATIUS SUHARYO, PR
Selasa, 6 Maret 2007


1.Doa pembukaan : Fr. Wicaksono
2.Pemaparan Visi, misi dan strategi kebidelan genap 2006/2007
3.Pemaparan dari Mgr. Ignatius Suharyo, Pr 
  

    Teruskan visi dan misi yang telah disampaikan oleh Fr. Marcel. Saya menduga bahwa visi misi dan strategi yang tadi disampaikan adalah dalam rangka menyiapkan diri sebaik-baiknya untuk menjadi pelayan Gereja yang selalu harus memperbaharui diri.
    Seingat saya dalam pertemuan seperti ini tahun yang lalu, antara lain saya menceritakan salah satu isi dari buku karangan Rhenald Kasali yang berjudul change. Intinya adalah pada jaman sekarang, suatu lembaga jika tidak mau mati harus berubah. Dari lain pihak kita juga tahu bahwa salah satu yang dikatakan Gereja adalah Gereja harus selalu memperbaharui diri (ecclesia semper reformanda).
    Dalam rangka pembaharuan diri, kita pun perlu memperbaharui diri selaku calon pelayan-pelayan Gereja. Bisa secara pribadi, tetapi bisa juga secara komunal. Bagaimana lembaga-lembaga seperti seminari harus berubah agar tidak terlindas oleh jaman? Bagaimana terjadi pembaharuan secara institusional?
    Untuk menjawab pertanyaan tersebut kiranya ada 2 hal yang harus diperhatikan:
A.Kecenderungan-kecenderungan atau tren-tren besar yang membentuk masyarakat jaman ini.

  1. Komersialisasi yang merasuk ke dalam semua bidang kehidupan. Saat tahbisan tahun lalu, saya menyebut tri tunggal yang tidak kudus: globalisasi, Bank Dunia, IMF. Semua hal dikomoditaskan. Hal ini menyebabkan komersialisasi yang bergandengan dengan konsumerisme. Tren ini amat kuat untuk ke depannya. Bahkan doa pun juga dikomersialkan, ex: sms doa di TV.
  2. Individualisme yang semakin mencolok.
  3. Fundamentalisme dan bahkan indifferentisme.
  4. Masyarakat semakin dipengaruhi oleh media.
  5. Isu kesetaraan gender. Mungkin saat ini kita belum banyak merasakan akibatnya tetapi banyak orang mengatakan bahwa isu ini akan mengubah berbagai macam pemikiran mendasar.
  6. Salah satu akibat dari arus-arus besar tersebut adalah kemiskinan, bukan hanya di negara kita tetapi di seluruh dunia. Ada angka-angka yang dapat disebut menurut standar Badan Pusat Statistik: ada 35 juta orang miskin di Indonesia, dengan catatan penghasilan kurang dari Rp 153.000- = tidak miskin. Menurut standar Bank Dunia, miskin = penghasilan kurang dari 2 dolar. Jika standar ini yang diberlakukan ada 110 juta orang miskin di Indonesia. Hal ini berlaku untuk negara-negara yang kalah bersaing. Keadaan semacam itu kiranya tidak akan semakin baik dalam waktu dekat. Gejala kemiskinan kemungkinan akan semakin meluas.

B.Citra Gereja macam apa yang ingin kita bangun? Harapannya Gereja dapat bertahan di tengah tren-tren tersebut.

  1. Sebetulnya KAS sudah memilih citra Gereja yang akan dibangun yang ada dalam pembukaan Pedoman Dasar Dewan Paroki yaitu communio. Dalam bahasa jerman, society disebut Gesenschaft dan community disebut Gemainschaft.
  2. KAS ingin membangun komunio. Gereja sebagai institusi yang mementingkan struktur dan lain sebagainya.
    Gereja sebagai sakramen.
    Komunio, dapat ditambah dengan penghayatan nilai-nilai alternatif, dan nilai-nilai alternatif itu adalah injil.
    Gereja yang membebaskan. Bedanya dengan komunio agak tipis. Kalau gereja yang membebaskan, fokusnya ada pada membebaskan dari struktur-struktur.

C.Wawasan pastoral macam apa yang muncul dari kombinasi keduanya?

  1. Dalam situasi semacam itu subyek pastoral adalah seluruh umat. Hal ini pasti membutuhkan suatu perubahan paradigma. Bukan saya yang melayani, umat dilayani tetapi seluruh umat harus melayani. Hal ini berpengaruh dalam corak pelayanan pastoral. Dalam Ardas yang dulu dirumuskan dengan istilah transformatif. Untuk Ardas yang sekarang dirumuskan dengan istilah mencerdaskan.
  2. Tujuan berpastoral apa? Bukan hanya agar banyak orang dibaptis.
  3. Proses pastoral dilihat sebagai lingkaran pastoral.

    Sesudah semuanya itu, bagaimana kita dapat memperbaharui diri secara intern? Yang lebih penting bagaimana lembaga-lembaga kita bisa ikut memperbaharui diri sehingga bisa menjadi pilar-pilar pembaharuan bagi gereja. Hal itu bisa menjadi konkret. Itulah yang ingin dicapai dengan adanya audit interna di Keuskupan ini.
    Tiga minggu yang lalu, kami mengadakan rapat dengan Seminari Menengah Mertoyudan. Kami membuat assessment (penilaian) terhadap Seminari Menengah.

Pertama, tentang kelembagaan. Sudahkah Seminari Menengah Mertoyudan mempunyai anggaran dasar? Sudahkah tanah bersertifikat? Ternyata anggaran belum ada dan berubah-ubah. Sertifikat juga belum selesai. Kalau yayasannya tutup, kepemilikan tanah juga akan hilang.
Kedua, mengenai keministeran. Bagaimana keministeran itu ditata? Sebagai contoh adalah perbandingan antara siswa dengan guru. Guru= 30, siswa=163. Rasionya 1:5. rasio ini baik untuk program S3, tetapi kurang baik untuk taraf SMA. Karyawannya 88, siswa 163, berarti rasionya 1:2. Hal ini sehat atau tidak? Tahun 2007, RAPB-nya defisit 1,7 milyar rupiah. Sementara itu sebuah angkatan masuk berjumlah 79 orang, ketika lulus hanya 15 orang. Seandainya itu sebuah perusahaan, pasti langsung ditutup saat rapat tersebut. Darimana uang 1,7 milyar itu dapat disediakan? Di samping itu juga ada usul yang tidak sesuai dengan realitas yang ada yaitu pengangkatan 4 karyawan baru.

Akhirnya, dari hasil analisis itu diberi 3 alternatif yaitu:

Seminari ditutup.
Seminari dibuka untuk umum.
Seminari mendidik calon imam dan juga untuk mendidik kader-kader awam.

    Belum diputuskan alternatif mana yang akan dipilih, tetapi telah dibentuk tim khusus untuk melihat seminari menengah menjadi seperti apa tiga tahun mendatang. Dasarnya adalah data. Dari data akan dilihat pembaharuan semacam apa yang bisa dilakukan. Misalnya, memelihara babi mengalami kerugian Rp 49 juta. Kalau memang rugi mengapa harus terus memelihara?
    Salah satu pertanyaan dalam bidang pembinaan rohani, yaitu apa yang paling berpengaruh dalam pengembangan rohani anda? Herannya puncta hanya mendapat 2 suara. Padahal romo dalam mempersiapkan puncta perlu waktu yang lama. Maka, perlu dipikirkan kembali pendampingan dengan metode puncta. Pertanyaannya, jalan mana yang harus ditempuh? Semuanya untuk pembaharuan Gereja kita.
    Intinya adalah kita diajak untuk berpikir sungguh-sungguh tentang pembaharuan, tidak dalam taraf konsep, tetapi dalam hal-hal yang konkrit. Apakah ST juga bisa membuat assistment agar visi misi tadi dapat dilaksanakan berdasarkan data yang ada?

4.Tanya jawab
Rm. Ardian, Pr
    Saya mau cerita sedikit mengenai apa yang telah dibuat di ST. mengenai aspek kerumahtanggaan. Pernah dipikirkan tentang pengurangan karyawan di ST, ex kebun dalma tidak perlu ada karyawan atau para frater turun ke kebun dan mengolah kebun. Awalnya banyak tetapi kemudian berkurang dan hasilnya kurang baik. Hal-hal semacam ini telah dipikirkan beberapa waktu, tetapi belum ada kemajuannya.

Fr. Sukmawanto
    Setiap kali paparan data atau analisa dan beberapa hal yang dapat menjadi langkah selanjutnya, ada 3 pertanyaan: siapa, bagaimana dan darimana itu memulainya? Pertanyaan itu juga muncul sore hari ini. Apakah nilai-nilai rohani masih bisa menjadi andalan dalam menghadapi tren yang ada atau harus memulai dari yang wadag agar dapat berangkat dari pengalaman eksistensial dari bawah ke atas.

Tanggapan Mgr. Suharyo :
    Saya memberi contoh tentang seminari menengah. Sebetulnya pertanyaan-pertanyaan tersebut sudah lama muncul, tetapi tidak ada keberanian karena tidak ada data-data yang muncul. Bulan Agustus, kepada rector seminari, saya berkata bahwa kita perlu rapat serius tentang seminari. Syaratnya adalah data. Kemudian, pamong, guru dan siswa bekerja sangat keras sehingga data-datanya dapat tersedia dalam setengah tahun. Setelah itu, disiapkan pertemuan khusus selama 3 hari.
    Siapa yang memulai? Ya kita-kita sendiri kalau hal ini dianggap penting untuk adanya perubahan, darimana? Ya dari data. Bagaimana? Perlu ada pertemuan khusus untuk membicarakan hal ini. Kalau kesulitan kita dapat meminta bantuan kepada orang lain.
    Contoh dari seminari menengah: KPP ke kelas 1 syarat nilainya adalah 6,5. Apakah hal ini wajar? Padahal di tempat lain nilai 6 sudah lulus. Akhirnya keputusannya adalah nilai 6 dapat lulus. Itu keputusan yang sangat konkret. Contoh lain: tentang kader-kader awam, apakah gereja berhasil mendidik kader-kader awam yang siap terjun di dunia mereka. Hitungannya, dapat lewat uang, kalau untuk membiayai calon imam gereja tidak ragu-ragu, sedangkan untuk kader awam perlu berpikir lama. Contoh lain adalah pemutusan menjelang naik ke kelas 3, perlu dikaji lagi? Bukankah kalau baik tidak perlu keluar dan dapat didampingi untuk menjadi kader-kader awam yang moga-moga handal.
    Konsep dan keputusan yang konkret dalam rangka mengadakan pembaharuan. Misalnya babi, kalau merugi tidak usah saja.
    Apakah nilai rohani masih bisa diandalkan? Pasti dong, bukankah imam itu ingin menjadi rohaniwan. Maka yang dianalisis juga pendampingan rohani. Contoh pertanyaannya adalah pendampingan rohani yang berpengaruh dalam hidup rohani.
Apakah kita secara tulus dan jujur mau membuat assistment untuk melakukan pembaharuan, harus jujur agar datanya benar-benar valid.

Fr. Erwin Sasmita :
    Tadi bapa uskup sudah menjelaskan tentang gambaran masyrakat dan gambaran gereja yang hendak dibangun. Akhir-akhir ini rm. Bono menekankan tentang kompetensi, hendaknya masing-masing frater dapat memiliki kompetensi masing-masing. Kompetensi macam apa yang perlu dimiliki oleh para frater. Teman-teman purwokerto bersharing bahwa purwokerto harus membangun gereja yang memasyarakat, maka banyak imamnya diminta belajar tentang kebudayaan. Nah, di KAS kompetensi macam apa selain sebagai rohaniwan? 

Fr. Wicaksono :
    Kalau dibandingkan, imam yang dulu lebih mantap rohaninya dan lebih jarang keluar dibandingkan dengan imam-imam jaman sekarang, apakah yang dilakukan pada jaman dahulu dapat dilakukan di jaman sekarang?
Setelah melihat personalia ternyata bahwa yang dari kpa lebih banyak daripada yang murni dari mertoyudan, apakah memang yang dari luar memiliki dasar yang lebih mantap? 

Fr.Handi                                                                              

    Tentang Puncta, mengapa tidak menarik? Saya berpikir tentang pemberi puncta yang ada di sana, bagaimana memberikan pengolahan hidup bagi para seminaris. Apakah memang telah disiapkan sungguh-sungguh orang-orang yang memang disiapkan untuk seminari, sehingga dapat member rasa aman bagi para seminaris? ().

Tanggapan Mgr. Suharyo :
    Pertama mengenai kompetensi. Tentu perlu dikatakan bahwa kompetensi dasarnya adalah bidang rohani, iman dan kesusilaan. Yang kedua, seseorang yang masuk dalam suatu keuskupan tentu tidak bercita-cita untuk mengembangkan bakat sendiri tetapi untuk bergabung dengan gerak keuskupan. Yang ketiga, menjadi sulit jika diskusinya diangkat ke tataran konseptual. Manakah tugas pokok rohaniwan? Manakah tugas pokok awam katolik? Bukankah penyucian adalah tanggung jawab kaum awam? Imam diutus belajar kebudayaan, itu dalam rangka subsidiaritas, mungkin kaum awam belum mampu maka imam masuk ke situ. Saya menyimpulkan bahwa gereja belum berhasil untuk membina awam sebagai subyek pastoral. Memasukkan rohaniwan dalam bidang tersebut adalah jawaban jangka pendek, jawaban jangka panjangnya adalah memasukkan awam ke dalam bidang tersebut, kecuali ada karya-karya yang harus dipimpin oleh seorang imam, ini bukan imamatnya tetapi tanggung jawab terhadap tarekat. Ex: SJ punya Sadhar, dan punya lembaga bahasa inggris, apakah untuk jadi guru bahasa inggris harus menjadi imam. Kalau ada imam yang diminta belajar bahasa inggris itu untuk member warna Jesuit di lembaga tersebut. Kalau imam yang memegang bidang tersebut, maka kaum awam bisa menjadi takut.
    Bisa bahwa seorang rohaniwan tidak nyaman dengan kerohaniannya, maka bisa mencara ilmu-ilmu lain karena dia merasa puas karena bisa berkembang di bidang tersebut. Semakin jelas ada sekularisme yang menyebabkan iman semakin sedikit diminati. Di sini sudah banyak ahli maka tidak perlu mengutus seorang imam praja untuk belajar secara khusus, khan bisa minta bantuan yang sudah ahli.
    Kompetensi dasarnya adalah kerohanian, tetapi bukan seorang rahib tetapi seorang pemimpin pastoral. Maka kompetensi yang perlu dikembangkan adalah kemampuan management pastoral. Maka, ilmu-ilmu management pastoral dikembangkan, tim personalia. Dalam rangka pembaharuan, dulu kalau menunjuk room paroki hanya berdasarkan “ketoke isa”, dalam waktu yang tidak terlalu lama setelah adanya tim personalia, kapan akan melakukan hasil kerja tim personalia tersebut. Untuk ditunjuk menjadi pastor kepala perlu dipanggil terlebih dahulu, apakah siap menjalankan berbagai tugas yang telah dibuat tim personalia? Hal ini suatu pola berpikir yang baru. Ada pola dibuat baik terlebih dahulu baru dikasih tugas (formation for mission) tetapi ada juga pola formation in mission, belum baik tapi diusahakan untuk berkembang dengan tugas-tugas yang ada. Kebijakan dapat berbeda-beda tetapi inti kiranya sama.
    Mengapa dulu sedikit keluar, sekarang banyak? Jawabannya sederhana bahwa dulu romonya juga sedikit. Menjadi imam jaman sekarang jauh lebih berat daripada menjadi imam pada jaman yang dahulu. Yang saya alami tentu lebih ringan daripada yang dihadapi oleh angkatan di bawah saya, dan para frater sekarang tentu saja lebih berat lagi.
     Murni seminari lebih sedikit daripada yang dari luar, ini data baru yang harus disikapi, jika hal ini terus berlanjut maka kemungkinan seminari dapat ditutup, seperti tahun 1960-an program KPP pernah ditutup. Ini dapat menjadi data tambahan tetapi tidak menjadi satu-satunya dalam mengambil keputusan.
    Mengapa puncta tidak menarik. Saya tidak sempat bertanya tentang alasannya. Jawabannya mungkin yang paling fatal adalah jika metode penelitiannya keliru, maka datanya tidak valid. Walaupun keliru, seharusnya menjadi pertanyaan para staf, kok bisa hasilnya semacam tersebut. Dapat bertanya pada siswa sehingga menjadi kuantitatif. Jawabannya dapat berupa metode puncta diperbarui, misalnya tidak hanya dengan mazmur tetapi dengan slide atau laptop. Atau diganti, tidak puncta tetapi emaus. Data dibuat agar dapat menghasilkan sesuatu yang baik. Puncta pasti disiapkan secara serius.
Yang inti adalah 75 tahun seminari memang sudah semacam itu, tetapi perlu diperbarui terus menerus.

Fr. Sumarno :
    Kalau kita bicara tentang data, kita punya kearsipan, dan juga litbang. Bagaimana kearsipan kita disini? Karena belum tersusun secara baik dan ruangnya selalu tertutup dan susah diakses.
    Masalah rumah tangga: setelah ada kunjungan ada pertanyaan mengapa tanah seluas ini dibiarkan bero, mungkin bisa ditanami tanaman.
    Menjadi pekerja perlu diseleksi dan nantinya lulus dan diterima sebagai pekerja, demikian juga imam walaupun ada rahmat khusus. Apakah ada pembaruan secara pribadi bagi para imam?

Fr. Hilda :
    Berkaitan dengan seleksi. Di ST ada 2 seleksi yaitu bakaloreat dan ad audendas. Hal ini menjadi permenungan tersendiri karena saya menjadi grogi dan takut, bagaimana kalau tidak lulus. Apakah panggilan saya ditentukan oleh 2 ujian tersebut? Apakah memang sangat penting? Atau mungkin ada kebijakan lain yang membuat saya menjadi lebih nyaman? 

Fr. Herman :
    Beberapa waktu lalu dalam mailing list ada diskusi tentang situasi jaman ini, Negara kita banyak mengalami keprihatinan. Teman-teman di luar menghadapinya sangat berat dan gagap menghadapi realita tersebut. Bagaimana ujung tombak kesaksian hidup beriman di tengah jaman ini bagi kaum awam menghadapi sesuatu yang berat. Kalau kita membaca Koran atau melihat televise seringkali melekat pada orang yang melakukan tindak criminal, jarang sekali nama baptis di orang-orang yang melakukan yang baik. Dulu ada banyak orang katolik yang berperan, sekarang terasa kurang. apakah ada kesalahan dalam gerakan imam? Atau memang gereja kurang memperhatikan gerakan untuk awam? Apakah ada kelebihan yang dimiliki gereja?
    Ada keluhan bahwa para imam banyak yang kurang bisa memanage keuangan? Bagaimana hal tersebut disikapi. 

Tanggpan Mgr. Ign. Suharyo :
    Saya rasa penting tentang arsip karena bagian penting untuk menulis sejarah. Tentang masalah penanaman, silahkan menanam, Br. Hardja sudah menanam durian.
    Mengenai seleksi : mengapa pendidikan calon imam itubegitu lama? Sejauh saya tahu tidak ada pendidikan formal lain yang selama pendidikan calon imam. Dilihat dari tahun persiapan atau formasi akan muncul imam-imam yang sunggh-sungguh handal, teorinya. Seleksi dilakukan pada saat masa panjang itu karena menjadi imam adalah komitmen seumur hidup. Begitu juga biarawan sebelum mengucapkan kaul. Kalau religious mudah saja mengubah, kalau imam adalah komitmen seumur hidup. Dalam masa persiapan di sini yang dibutuhkan adalah kejujuran. Kalau tidak jujur akan merugikan banyak pihak, diri sendiri akan rugi besar karena memaksakan diri menjadi imam. Jangan-jangan satu tahun sudah lelah. Namun, yang namanya self assistment perlu dibuat. Saya dengar pernah ada dari sadhar untuk calon karyawan. Jika hal ini dilakukan tidak untuk melawan panggilan, tetapi untuk membantu yang bersangkutan menyadari kemampuan-kemampuannya. Antara lain: kemampuan kerjasama, orang yang punya ilmu bisa menilai hal tersebut. Nah, kalau ada yang memiliki kemampuan kerjasama kurang dapat dibantu untuk mengembangkan kemampuan bekerjasama. Di KAS juga dibuat, tetapi belum menjadi mekanisme.
    Menurut saya, yang dapat disumbangkan kepada saudara-saudara kita adalah perspektif iman, mungkin tidak laku dijual, tetapi hal tersebut sangat penting. Betul jaman ini tidak banyak tokoh, alasannya gereja kurang member sumbangan. Alas an lain tentu juga ada, situasi politik sangat berbeda dengan dulu, orang katolik mau berperan penting dalam pemerintahan sangat berat. Kalau saya akan mengatakan seperti ini, bagus dulu ada orang-orang hebat, untuk muncul lagi tentu perlu waktu yang lama, dulu yang dilakukan orang hebat tersebut sendiri dapat dilakukan bersama-sama, kerjasama menjadi penting. Misalnya Rm. Mangun.
    Kekuatan gereja : para perintis misi di KAS telah meletakkan landasan yang sangat kuat untuk gereja kas, itu kekuatan yang dahsyat. Contoh: ST di kas berdiri tahun 1936, coba bandingkan di Sumatra baru 25 tahun ini (1982). Mengapa? Karena visi ke depan di kas berbeda dengan di sana. Di malang, 1976. Keterlibatan awam, lain sekali di daerah lain dengan di sini. Mengapa? Karena landasan yang diletakkan oleh para perintis tersebut. Tentang system lingkungan: kapan system itu dimulai? Dimulai tahun 1936 oleh Rm. Soegijapranata di Bintaran. Lahir di Bintaran itu sudah memiliki makna tersendiri. Saat itu ada 2 gereja yaitu Kidul Loji untuk orang-orang Belanda, sedangkan orang pribumi di Bintaran. Dan system lingkungan mulai di gereja untuk pribumi. Tahun 1974, Rm. Romens menulis artikel yang berjudul lingkungan: menuju gereja yang lain. Tidak hanya lain, tetapi juga gereja yang hidup. Rm. Theo Wolf menulis tentang lingkungan di majalah misi di Jerman. Ternyata artikel tersebut dibaca di Vatikan dan Rm. Theo Wolf diwawancarai di Roma. Apakah maksud Rm. Soegija sama dengna lingkungan sekarang? Tidak.
    Inisiatif-inisiatif kecil sangat banyak. Modal-modal banyak dikuasai oleh pemilik modal. Gereja memilih gerakan akar rumput, karena banyak sekali gerakan akar rumput. PPSM, Pertanian organic yang dimulai di Ganjuran, gerakan membangun habitus baru di sekolah. Di SMP Dominico Savio, kantin sekolah tidak dijaga untuk mengajarkan kejujuran kepada anak.
    Banyak sekali kekuatan yang dimiliki, namun pengaruhnya tidak langsung kelihatan. Banyak sekali kekuatan-kekuatan.
    Biar saja grogi menghadapi ujian. Takut itu bagus. Kalau saya tidak takut tertabrak truk, maka saya akan sembarangan menyeberang jalan. Kalau takut, maka akan berhati-hati. Takut ujian tersebut wajar. Asalkan takutnya wajar-wajar saja. Bakaloreat adalah syarat yang diminta oleh gereja universal. Kalau tidak lulus sekali dapat mengulang, tidak lulus lagi, tidak dapat mengulang, tetapi tidak menghalangi untuk menjadi imam. Tetap ada cara agar tetap menjadi imam. Kalau baik, tentu tidak akan dikeluarkan begitu saja. 
    Mengenai keuangan : memang tidak semua bisa, dan tidak harus ditangani sendiri. Kalau uang pastoran tidak banyak maka tidak selalu rumit, yang banyak itu uang paroki dan room paroki tidak boleh mengelola keuangan, harus dewan paroki. Keuskupan memberikan kursus keuangan bagi bendahara paroki.

5.Nyanyi bersama : Ut omnes unum sint
6.Doa penutup : Fr. Simon Untoro.

0 comments:

Template by - Abdul Munir - 2008